Pendidikan Indonesia dibawah Rejim Boneka
Bagaimana Mungkin Upah Buruh di Perkotaan atau Penghasilan tani Penggarap dan tani Miskin di Pedesaan Bisa menguliahkan anak-anakya yang harganya puluhan juta rupiah.
Rejim Boneka Merampok hak rakyat untuk Kuliah!
Dari rejim boneka satu yang berganti dengan rejim boneka lainya di negeri ini, upaya komersialisasi pendidikan semakin deras. Rejim lebih memilih tunduk pada kesepakatan dengan instrument imperialis dari pada memenuhi kebutuhan rakyat atas pendidikan, deretan panjang perampokan hak rakyat pada medio abad 20an atas pendidikan di mulai Dalam kesepakatan untuk kucuran utang (Letter of Intent/LoI) dari dana internasional Monetery Found (IMF) tahun 1999, terdapat kesepakatan bahwa pemerintah harus mencabut subsidi untuk pendidikan dan kesehatan. Hal ini yang membuat masyarakat menanggung biaya pendidikan dan kesehatan terlalu mahal di luar kemampuan mayoritas penduduk Indonesia. Padahal jelas dalam UUD 1945 pasal 31 bahwa pemerintah wajib membiayai pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN/APBD.
Melalui Bank Dunia (World Bank/WB), pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran dana utang 114,54 dollar AS untuk membiayai program Indonesia Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati juni 2005 dan berakhir 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot anggaran di APBN sehingga harus dipangkas subsidinya. Pemangkasan tersebut meliputi juga anggaran untuk guru dan dosen.
Selain itu, sejak tahun 2001 pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kesepakatan Bersama Tentang Perdagangan Jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) di mana pendidikan dimasukkan menjadi salah satu dari 16 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian, para investor kemudian bisa menanamkan investasinya di sektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi).
Selanjutnya Pemerintah melakukan Kerjasama dengan Asian Development Bank (ADB), tentang Hinger Education Project dengan total utang 102,6 million dollar AS mulai tahun 1993 sampai 2001. Bantuan tersebut di berikan untuk 6 kampus PTN dan 11 Kampus PTS di Indonesia. Misi dari kerjasama tersebut sama persis dengan program world Bank yaitu tentang Efisiensi dan relevansi Perguruan Tinggi, kebijakan tersebut sesungguhnya mengukuhkan otonomi terhadap kampus.
Demikian juga dengan hutang yang diberikan oleh Islamic development Bank (IDB), kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dengan kampus tetaplah mengedapankan otonomi Perguruan Tinggi. Kesepakatan IDB ini banyak terjalin dengan kampus islam Negeri (UIN), hampir seluruh kampus UIN di Indonesia. Bukti kongkrit dari perjajian ini adalah ditetapkanya kampus sebagai Badan Layanan Umum (BLU), yang kebijakanya sudah ditetapkan oleh pemerintahan SBY-Kalla lewat UU No.1 tahun 2004 tentang pembendaharaan Negara dan PP No.23 tahun 2005 tentang tata kelola tentang Badan Layanan Umum.
Kesemua perjanjian tersebut yang mendorong rejim boneka untuk melegalisasi kampus untuk diperdagangkan, kesepakatan tersebut menjadi induk atas lahirnya PP 60 dan 61 tahun 1999 tentang Otonomi Kampus, UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisitem Pendidikan Nasional dan UU No.02 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Barang busuk tersebut yang membuat anak-anak buruh dan tani tidak bisa menginjakkan kaki di kampus. Biaya kuliah melambung Tiap Semesternya, biaya Masuk kuliah tak terbendung lagi tiap tahunya dan Pungutan liar semakin meningkat agresif merogoh kantong orang tua mahasiswa.
Yang lebih menyakitkan lagi, biaya kuliah yang melambung tinggi tersebut tidak menjamin kualitas pendidikan tinggi. Dalam standart kampus secara internasional, peringkat kampus andalan di negeri ini semakin merosot tajam. Sebut saja Mutu pendidikan di Indonesia dilihat dari dua indikator makro seperti pencapaian Human Development Index (HDI), pemilikan daya saing, kualitas pendidikan dan indikator mikro seperti prestasi matematika, fisika dan kemampuan membaca. Dalam laporan UNDP Indonesia ternyata memiliki HDI sebesar 0,682 menduduki peringkat 111 dari 177 negara. Posisi Indonesia berada di bawah negara tetangga. Filipina (83), Thailand (76), Malaysia (59), Brunei Darussalam (33), Republik Korea (28), Singapura (25).
Rejim Boneka merampok hak rakyat untuk Sekolah!
Dalam pidatonya rejim SBY menyebutkan dari total anggaran, dialokasikan sekitar 36% (sekitar Rp 312,6 triliun) untuk belanja kementerian negara/lembaga, anggaran tersebut belum termasuk tambahan untuk anggaran pendidikan sebesar 46,1 triliun yang diusulkan dalam nota keuangan tambahan. Kemudian sekitar 27,8% atau Rp 227,2 triliun untuk subsidi, yang meliputi 101,4 triliun untuk subsidi BBM, Rp 60,4 triliun untuk subsidi listrik, serta Rp 32 triliun untuk pangan, pupuk dan benih. Untuk pelayanan dasar kesehatan, pendidikan dan pembangunan perdesaan, dianggarkan Rp 142,8 triliun. Untuk program penanggulangan kemiskinan dianggarkan sebesar Rp 66,2 triliun. Khusus untuk pembangunan perdesaan dianggarkan sebesar Rp17,0 triliun. Serta untuk penyelenggaraan pemilu sebesar Rp 16,7 triliun, serta anggaran-anggaran untuk pertahanan dan berbagai pos-pos lainnya.
Khusus untuk pendidikan, SBY menyebutkan bahwa pada tahun 2009 nanti anggaran pendidikan akan di realisasikan 20 % dari APBN, jadi jika besarnya APBN lebih dari Rp 1000 triliun maka anggaran untuk pendidikan paling tidak lebih dari Rp 200 triliun, tetapi SBY tidak menyebutkan jumlah 20 % anggaran pendidikan didapat dari mana saja, hanya disebutkan bahwa untuk departemen pendidikan nasional sebesar Rp 52,0 triliun, ditambah nota keuangan tambahan untuk pendidikan Rp 46,1 triliun sedangkan untuk departemen agama rencananya akan mendapat anggaran Rp 20,7 triliun. Jika ditotal anggaran yang didapat oleh departemen pendidikan nasional, nota keuangan tambahan untuk pendidikan dan anggaran untuk departeman agama adalah sebesar Rp 118,8 triliun, jumlah sebesar ini tentu belum memenuhi anggaran 20 % anggaran pendidikan yang telah dijanjikannya.
Pemenuhan anggaran pendidikan 20 % dari total APBN seharusnya mencapai angka nominal Rp. 224,4 triliun dan bukan seperti yang disebutkan oleh SBY dalam pidatonya pada tanggal 15 Agustus 2008 yakni sebesar 118,8 triliun saja. Artinya, kekurangan yang tidak disebutkan oleh SBY untuk memenuhi 20 % anggran pendidikan pada tahun 2009 sebesar Rp. 105,6 triliun. Anggaran pendidikan yang minim tersebut telah menggagalkan program wajib belajar 9 tahun, kerena kenyataanya angka putus sekolah semakin meningkat tajam. Tahun 2008 angka putus sekolah dasar mencapai 841.000 siswa, semantara angka putus sekolah SMP dan Tsanawiyah mencapai 211.643 siswa.
Kemudian SBY-Kalla selalu mengapayekan lewat kampanye pemilu dan Iklan di media cetak dan televisi bahwa pendidikan dasar sudah gratis. Sedangkan untuk pendidikan dasar gratis pemerintah harus memenuhi angka nominal sebesar Rp. 157 triliun. Tentu saja apa yang disebut oleh SBY dalam pidatonya tidak mencukupi pembiayaan untuk pendidikan dasar. Apalagi untuk memenuhi pembiayaan pendidikan menengah atas dan perguruan tinggi. Belum lagi anggaran tersebut sudah termasuk untuk gaji dosen, guru dan karyawan.
Selain itu pada substansinya kebijakan pemenuhan anggaran pendidikan 20 % oleh pemerintah sesungguhnya hasil desakan rakyat dan secara terpaksa mahkamah konstitusi mengeluarkan putusan. jadi bukan karena SBY-Kalla berkehendak untuk memenuhi anggaran tersebut. Kalaupun pemerintahan SBY-JK melihat dan bersimpati terhadap kemiskinan rakyat, itu hanyalah kamuflase untuk mengembalikan citra terutama dalam pemilu 2009 nanti. Namun, tetap saja upaya pemerintah untuk memenuhi 20 % anggaran pendidikan adalah kebohongan semata.
Rejim Boneka Merampok Hak Mahasiswa untuk Berekspresi dan berorganisasi!
Upaya untuk memberangus gerakan pemuda-mahasiswa sebagai salah satu kekuatan demokratik, telah dimulai sejak diberlakukannya sistem Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) oleh rezim Orde Baru (Orba). Kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) melalui SK Mendikbud No. 0457/U/1990 yang menggantikan posisi dari Dewan Mahasiswa (DEMA). Peran SMPT selama zaman orde baru justru mengkebiri kekrtisan mahasiswa. Aktifitas di kampus yang bersifat politik dan organisasi.
Meskipun saat ini NKK/BKK telah dihapus, namun prakteknya masih bisa dirasakan di kampus. Posisi mahasiswa tetap menjadi subordinasi dari birokrasi kampus, dimana Pembantu Rektor III dan Pembantu Dekan III tetap berperan dalam mengontrol aktifitas mahasiswa di kampus. Aktifitas mahasiswa didorong semata-mata menyelesaikan masa studi secepatnya, tanpa perlu memikirkan persoalan-persoalan di sekitar kampus. Hal itu bisa terlihat dengan pemberlakuan beberapa peraturan kampus yang cukup represif seperti kode etik, jam malam, ancaman DO, larangan berdemonstrasi, larangan berorganisasi dan lain-lainnya,
Lebih lanjut, pengekangan terhadap demokratisasi di kampus masih membelenggu hak-hak mahasiswa untuk berekspresi, berpendapat dan berorganisasi. Upaya-upaya secara sistematis untuk membungkam demokratisasi di kampus begitu nyata terlihat. Mulai dari pengetatan kuliah dan system presensi yang terus ditingkatkan, pemberlakuan kode etik, jam malam, larangan bagi organisasi ekstra (ormas) melalui Surat Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 26/Dikti/Kep/2002 tentang pelarangan organisasi ekstra kampus dan partai politik dalam kehidupan kampus, intimidasi dan ancaman pengurangan nilai terhadap mahasiswa yang kritis terhadap kehidupan kampus, pelarangan demonstrasi.
Yang lebih menyakitkan lagi, Watak Anti-Demokrasi kampus tanpa ampun memukul ruang ekspresi dan organisasi mahasiswa. Tindakan brutal dan bar-bar birokrasi kampus bahkan mengabil bentuk-bentuk kekerasan dan pembantaian, masih cukup lekat ditelinga kita semua, bau anyir darah yang menimpa alm. M. Ridwan mahasiswa IKIP Mataram yang dibunuh oleh preman suruhan Rektor kampus atau kejadian kekerasan yang terjadi di kampus UISU Medan. DO dan Skorsing juga menimpa 4 orang anggota FMN di STAIN Pontianak, Baru-baru ini 4 orang anggota FMN Universitas Tadulako Palu juga diancam DO oleh rector setelah menggelar demonstrasi. Dikampus-dikampus muhamadiyah di seluruh Indonesia menetapkan wilayah steril kampus dari organisasi massa dan demonstrasi.
Rejim Boneka SBY-Kalla sampai perangkat terendahnya dikampaus yaitu rector, dengan berbagai kebijakanya telah memaksa mahasiswa untuk tunduk pada ilmu picik imperialis. Mahasiswa di paksa untuk berpikir prakmatis dan alergi politik dengan berbagai petuah yang seolah-olah kampus wilayah yang netral dan tugas dari mahasiswa hanyalah belajar.
Rejim Boneka merampoh hak para sarjana untuk bekerja!
Mengurangi angka pengangguran selalu menjadi janji gombal SBY-Kalla. Namun, setiap tahun angka tersebut rasanya enggan menurun. Dari jumlah penganggur yang terdata, penganggur dari kalangan terdidik menunjukkan peningkatan agresif. meningkatnya penganggur sarjana disebabkan pemeintahanan boneka selalu mempertahankan industry yang terbelakang bukan industry nasional yang tangguh bersandarkan sendi-sendi lan-reform sejati. Setiap tahun, lebih dari 300.000 lulusan perguruan tinggi dari jenjang diploma hingga sarjana atau strata satu (S-1) siap memasuki pasar tenaga kerja. Tahun ajaran 2005/2006, misalnya, Departemen Pendidikan Nasional mencatat jumlah mahasiswa yang lulus dari perguruan tinggi negeri dan swasta sebanyak 323.902 orang. Namun, tidak semua yang lulus ini terserap oleh pasar.
Dengan kenaikan 1 persen pertumbuhan ekonomi yang hanya mampu menciptakan 265.000 lapangan kerja baru, Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Februari 2007 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penganggur meningkat meningkat drastis. Jika pada Agustus 2006 penganggur dari lulusan Perguruan Tinggi ini sebanyak 673.628 orang atau 6,16 persen, setengah tahun kemudian jumlah ini naik menjadi 740.206 atau 7,02 persen. Tren kenaikan ini sudah terlihat sejak tahun 2003, di mana pengangguran terus mengalami peningkatan.
Selain dari indikator pengangguran terbuka, nasib tragis lulusan perguruan tinggi juga bisa dilihat dari kategori setengah penganggur alias kerja tidak tetap alias serabutan. Termasuk dalam kategori ini adalah lulusan perguruan tinggi yang bekerja di bawah jam kerja normal, yaitu kurang dari 35 jam per minggu, para sarjana bekerja serabutan tersebut karena terpaksa tidak ada pekerjaan termasuk didalamnya Pekerja paruh waktu . Lulusan perguruan tinggi yang serabutan ini jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan yang pengangguran terbuka. Periode Februari 2007 angkanya hampir 1,4 juta orang, naik sekitar 26 persen dari Februari 2006. Lulusan perguruan tinggi terpaksa memilih bekerja serabutan ketimbang tidak bekerja sama sekali sehingga angkanya akan terus bertambah,
Tidak ada syarat bagi Rejim Boneka untuk Membangun Kebudayaan Rakyat!
Kampus saat ini berlomba-lomba memasarkan produknya, dengan berbagai bentuk dan cara yang tidak mutu dan tidak tahu malu kampus dikemas dengan berbagai lebel. Sebut saja World Class University, Reseach University atau entrepreneurship campus yang sekarang sedang marak dideklarasikan kampus-kampus besar negeri, persaingan bebas tersebut membuat kampus-kampus swasta kecil terancam gulung tikar karna tidak diminati para calon mahasiswa. Monopoli PTN dan PTS besar dalam medio tahun 2000an, ketimpangan kuantitas mahasiswa di PTN dan kampus swasta kecil semakin njompang tiap tahunya.
Kalau kita periksa sampai sejauh ini belumlah ada temuan-temuan spektakuler yang dihasilkan kampus yang berbranded riset atau kelas internasional. Bagaimana mungkin temuan-temuan baru itu mucul ditengah karakter industry di negeri ini masih sangatlah terbelakang. Kampus riset sesungguhnya hanya jargon, untuk memenuhi kebutuhan data dari imperialis. Kelas internasional sesungguhnya digunakan untuk menarik para calon mahasiswa mengeluarkan biaya yang tinggi dan kampus wirausaha hanyalah semboyan agar para mahasiswa pandai memasarkan produk imperialis yang sekarang sedang berlebihan.
Fakta-fakta diatas menunjukkan kenyataan pendidikan saat ini yang sama sekali tidak mewakili kepentingan rakyat, Kampus hanya digunakan carong bagi kebudayaan imperialis untuk mendukung ideologinya. Seluruh mata kuliah didalam kampus dijauhkan dari realitas penderitaan rakyat dan kebohongan system Semi-kolonial, Semi-Feodal yang menindas rakyat bertahun-tahun lamanya. Dibawah rejim boneka imperialis anak-anak buruh dan tani di paksa untuk menjadi penganguran, pekerja serabutan atau melanjutkan pekerjaan orang tuanya. Jutaan anak-anak desa dieksport untuk menjadi buruh migrant tanpa perlindungan sama-sekali.
Rejim boneka hanya memberi pilihan pahit bagi rakyat, kebudayaan imperialis dan Feodal menjadi mata pelajaran untuk melangengkan ekonomi politik kaum penghisap rakyat. Kebudayaan tersebut telah menghancurkan tenaga produktif dan meletakkan rakyat pada keterbelakangan. Kebudayaan yang lama dan usang ini sama sekali tidak menciptakan syarat-syarat rakyat untuk berkembang maju. Sudah sepantasnya kebudayaan bangrut ini dihancurkan, pemuda-mahasiswa dan rakyat membutuhkan kebudayaan baru. Sebuah institusi pendidikan yang benar-benar lepas dari dominasi feudal dan penetrasi kebudayaan imperialis. Rakyat butuh pendidikan yang sanggup diakses oleh seluruh anak-anak buruh, tani dan para pekerja lainnya, pendidikan yang ilmiah mengabdi pada kenyataan dan pendidikan yang mempelajari betul-betul problem pokok dari rakyat. Untuk memajukan peradaban rakyat butuh pendidikan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat.
Kita sadar betul bahwa di bawah rejim boneka imperialis, kebudayaan yang diimpikan rakyat tersebut tidak akan sanggup tercapai. Pendidikan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat hanya sanggup terpenuhi jika negeri ini bebas dari belenggu imperialisme dan feodalisme, bebas dari rejim boneka persekutuan jahat dari borjuasi besar komprador dan tuan tanah. Karenanya hanya bersama rakyatlah pemuda-mahasiswa mendapatkan cita-citanya. Hanya berjuang bersama klas buruh dan kaum tani syarat-syarat pendidikan rakyat mendapatkan tempatnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar