FMN Wonosobo

Senin, 10 Agustus 2009

Pendasaran Obyektif Aliansi Dasar Buruh dan Petani Melawan Rezim Anti-Rakyat Di Indonesia Dalam Periode Krisis Umum Imperialisme




Pendasaran Obyektif Aliansi Dasar Buruh dan Petani Melawan Rezim Anti-Rakyat
Di Indonesia Dalam Periode Krisis Umum Imperialisme


I. Analisis Situasi Obyektif Ekonomi-Politik Dunia

Kabar terkini dari sistem kapitalisme dunia adalah krisis yang terhitung paling buruk sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua. Depresi ekonomi dunia telahdi ambang pintu menuju jurang krisis yang semakin dalam. Krisis energi, krisisfinansial, krisis pangan dan krisis ekosistem lingkungan telah berpadu yangsemakin menjelaskan wajah dunia di bawah perintah kekuasaan kapitalis monopoli dunia. Kemiskinan dan kelaparan telah memicu berbagai kerusuhan sosial dan
krisis politik yang telah merambah negeri-negeri terbelakang seperti Afrika, Amerika Latin dan Asia. Forum G7 (Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, dan AS) dalam bulan April 2008 ini, melahirkan komunike bersama untuk mengatasi defisit keuangan akibat krisis finansial yang kian tak teratasi dan krisis pangan yang telah mengoyak negeri-negeri miskin seperti di Haiti dan Kamboja. Ekonomi dunia, menurut catatan IMF pada bulan April, hanya mengalami pertumbuhan 3,7 persen atau mengalami koreksi rata-rata 1 persen akibat hantaman berbagai badai krisis tersebut. Gejala yang paling jelas adalah apa yang tengah menimpa perekonomian Amerika Serikat sebagai negeri induk imperialisme dan hegemoni tunggal. Sejak semester kedua 2007, krisis finansial di Amerika Serikat belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Justru sebaliknya, semakin banyak perusahaan keuangan besar raksasa dunia ”babak belur” karena kerugian besar dalam transaksi subprime mortgage, yang kemudian menular ke berbagai instrumen keuangan lainnya. Betapa parah dampak krisis keuangan bagi perekonomian AS, hal itu tercermin dari pertemuan Federal Reserve, 18 Maret 2008, ”… Penentu kebijakan The Fed menilai harga-harga yang berjatuhan di dalam negeri dan kekalutan pasar keuangan dapat mengarah kepada kecenderungan menurun yang jauh lebih hebat dan berlarut-larut daripada yang diperkirakan pada saat ini” (The Wall Street Journal, 9 April 2008). Situasi ini semakin menjelaskan, bagaimana teoritisi dan ekonom kapitalis seperti serdadu tua yang semakin ompong seiring dengan semakin tua dan sekaratnya kapitalisme itu sendiri.

Tak ada lagi keraguan bahwa perekonomian AS telah memasuki resesi. Pada triwulan I-2008 perekonomian AS hampir bisa dipastikan mengalami kontraksi, atau pertumbuhan negatif, dan akan berlanjut pada triwulan kedua. Proyeksi pertumbuhan ekonomi AS 2008 mengalami koreksi paling tajam. Persis setahun lalu, perekonomian AS tahun 2008 diproyeksikan tumbuh 2,8 persen, tetapi April tahun ini sudah terpangkas menjadi hanya 0,5 persen. Jumlah pengangguran juga meningkat pesat di AS. Mengingat sumbangan AS dalam perekonomian dunia masih dominan, yakni 25,5 persen pada tahun 2007, sudah barang tentu kemerosotan ekonomi di negeri kepala dari imperialis ini akan berimbas pada perekonomian dunia.

Perang agresi, sebagai salah satu instrumen politik kekerasan imperialis yang paling brutal dewasa ini, tak kalah besar memberi konstribusi kerusakan ekonomi AS. Menurut Joseph Stiglitz dalam bukunya berjudul “The Three Trillion Dollar War: The True Cost of the Iraq Conflict`, ia menyimpulkan bahwa operasi-operasi militer AS di Irak telah melampaui ongkos perang 12 tahun di Vietnam dan lebih dari dua kali lipat biaya yang dikuras dalam Perang Korea. Perang ini satu-satunya dalam sejarah AS yang menelan biaya lebih dari ongkos yang mesti dibayar dalam Perang Dunia II, ketika 16,3 juta tentara AS berperang selama empat tahun terakhir, yang menelan biaya sekitar lima trilyun dolar. Jika dikalkulasi dengan nilai dolar sekarang, perang Irak menguras biaya 400.000 dolar per tentara. Sebuah angka yang fantastis bila dikalikan jumlah pasukan pendudukan AS di Irak yang jumlahnya lebih dari 100.000 tentara. Namun politik agresi dan terorisme negara dari kekuatan imperialis ini belum akan berakhir. Perebutan sumber-sumber kekayaan alam khususnya energi, yang telah menjadi penyulut api peperangan di Irak dan Afghanistan; masih akan terus berlangsung dan semakin intensif. Ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi dunia (negeri-negeri imperialis vs Dunia ketiga), dan gesekan kepentingan antar-negeri imperialis sendiri akan semakin meruncing yang bisa menyulut krisis keamanan dunia setiap saat. Di tengah situasi dunia yang demikian krisis, kampanye tentang ‘neo-liberal’ sebagai solusi ekonomi dunia juga semakin menunjukkan kebangkrutannya. Ia tak ubahnya menjadi mitos kemakmuran yang tak akan pernah dicapai. Berbagai terminologi seperti de-nasionalisasi, penanaman modal, liberalisasi perdagangan, privatisasi dan deregulasi; semua resep ini semakin merusak negeri-negeri terbelakang, rakyat pekerja, kaum perempuan dan lingkungan. Globalisasi “pasar bebas” adalah slogan dari kapitalisme monopoli untuk merayakan perkiraan mereka bahwa sejarah sudah selesai dalam kapitalisme dan demokrasi liberal. Motif kampanye ini untuk menghancurkan negeri-negeri dan rakyat pekerja yang berjuang untuk kemerdekaan nasional, nasionalisasi dan sosialisasi dari ekonomi mereka. IMF sebagai institusi promotor dari berbagai kebijakan neo-liberal juga semakin bangkrut. Salah satu lembaga piaraan imperialis itu semakin memperjelas diri sebagai lembaga lintah darat (parasit) dunia. Masih dalam bulan April 2008, IMF terpaksa menjual simpanan berupa 400 ton emas karena beberapa negara pengutang yang biasa ia cekik dengan bunga tinggi mengembalikan utang mereka lebih dini untuk menghindar beban bunga yang tinggi.

Sistem kapitalisme telah melewati periode keemasannya. Dunia kapitalis tidak akan mendapati lagi kemunculan negeri-negeri persemakmuran (welfare-state) sebagaimana terjadi pada era booming kemakmuran tahun 1970-an hingga 1980-an. Pemangkasan subsidi sosial, kesehatan, pendidikan, dsb, menjadi kenyataan pahit bagi rakyat di tengah kondisi penghidupan yang semakin dimiskinkan; baik di negeri-negeri maju belahan Utara maupun negeri-negeri bergantung di belahan Selatan. Di tengah berbagai upaya kebijakan imperialis menangani krisis dengan cara mengintensifkan penghisapan dan penindasannya terhadap rakyat dunia, khususnya rakyat di Dunia Ketiga; kabar yang terpenting adalah kebangkitan perjuangan massa rakyat yang semakin meluas di berbagai belahan dunia. Gerakan pembebasan nasional, protes rakyat menentang keberadaan rezim-rezim komprador, dan berbagai perlawanan rakyat menentang kebijakan anti-rakyat terus meluas di sektor buruh, petani, mahasiswa, perempuan, dan kaum miskin perkotaan. Gerakan rakyat semakin berkobar di pedesaan maupun perkotaan, baik dengan protes damai, reform hingga perjuangan bersenjata.

II. Analisis Obyektif Situasi Ekonomi-Politik Indonesia: Memperkuat Tesis Setengah-Feodal dan Setengah-Kolonial Masyarakat Indonesia
Bagaimana hubungan dialektis antara krisis umum imperialisme dengan krisis ekonomi di Indonesia? Persoalan ini mengandung dimensi ekonomi-politik yang sangat penting dan suatu problem yang khas di zaman imperialisme. Zaman imperialisme menjelaskan dominasi dan hegemoni kekuatan kapitalis monopoli atas tatanan ekonomi-politik dunia. Sumber masalah masyarakat dunia dengan demikian adalah segala pikiran dan tindakan yang muncul dari sistem kapitalisme tua itu sendiri. Disebabkan oleh kedudukannya sebagai negeri-negeri yang bergantung pada imperialisme, krisis umum imperialisme memiliki dampak langsung terhadap negeri setengah-jajahan dan setengah-feodal seperti Indonesia. Secara obyektif, kedudukan negeri-negeri jajahan/setengah-jajahan dan setengah feodal yang tersebar di berbagai belahan dunia merupakan basis sosial bagi kepentingan imperialisme. Negeri-negeri tersebut diperintah oleh rezim-rezim komprador (kaki-tangan) yang melayani kepentingan imperialisme dengan mengeluarkan berbagai peraturan/perundang-undangan untuk mengeksploitasi kekayaan alam dan rakyat negerinya.
Demikianlah kenyataannya. Rezim-rezim komprador Republik Indonesia yang datang silih berganti, masih dengan setia diperbudak oleh Imperialisme dengan menerbitkan berbagai perundang-undangan betapa pun paket peraturan tersebut bertentangan dengan semangat UUD-1945 yang jelas-jelas memiliki watak anti-imperialisme (kolonialisme). Namun penjebolan atas UUD 1945 yang dilahirkan oleh perjuangan revolusi nasional anti kolonialisme 1945 tersebut telah benar-benar dilakukan oleh rezim-rezim komprador sejak zaman Suharto hingga
SBY-JK.
Situasi obyektif yang menimpa rakyat Indonesia dewasa ini semakin menegaskan status Republik Indonesia sebagai negeri setengah-jajahan dan setengah-feodal.
Apa hakekat masalah dan jalannya kenyataan ini? Mari kita membahasnya secara konkrit.
Setengah-jajahan (semi-kolonial) menjelaskan kedudukan politik dan setengah-feodal menjelaskan sistem ekonomi masyarakat Indonesia. Yakni kedudukan suatu masyarakat di negeri bekas jajahan yang pada perkembangnnya jatuh kembali ke dalam cengkraman imperialisme (neo-kolonialisme) secara ekonomi, politik dan kebudayaan. Fokus kajian ini menyoroti masalah ekonomi dan politik di Indonesia. Batu pal kembalinya status setengah-jajahan Republik Indonesia ditandai oleh dua kejadian penting. Pertama, pada zaman pemerintahan Soekarno, melalui Kabinet Hatta, mengadakan persetujuan dengan pemerintahan Belanda, yaitu persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada permulaan tahun 1949. Revolusi rakyat bersenjata yang berkobar sepanjang 1945-1948 dan berhasil mengusir rezim kolonial dari sendi-sendi kehidupan rakyat itu, telah dibatalkan oleh persetujuan damai KMB yang telah merestorasi susunan ekonomi kolonial di Indonesia sekaligus memupus habis harapan proletariat dan rakyat Indonesia untuk membebaskan diri dari penghisapan dan penindasan. Kekuatan borjuasi dengan demikian telah menyelewengkan hakekat kemerdekaan Indonesia dan menyeret jutaan nasib rakyat kembali ke dalam kubangan kolonialisme. Pengorbanan rakyat dengan darah, air mata, jiwa dan raga telah menjadi sia-sia di tangan borjuasi tersebut. Inilah hakekat yang menyatakan bahwa Revolusi Nasional tahun 1945 telah kandas di tengah jalan!
Kedua, munculnya rezim fasis Suharto pada tahun 1966. Di bawah klik Suharto-Nasution yang disokong oleh kekuatan utama Imperialis AS, kemelut politik pada tahun 1965 telah melantik seorang boneka imperialis Suharto dengan jutaan darah rakyat Indonesia yang ditumpasnya. Segera setelah mendudukkan diri sebagai rezim komprador yang loyal kepada tuan penyokongnya, penjebolan UUD 1945 pertama dilakukan dengan terbitnya UU Penanaman Modal Asing No.1/1967. PT. Freeport yang datang dari Amerika Serikat untuk mengeksploitasi tambang di tanah Papua tercatat sebagai investor asing pertama sejak Indonesia Merdeka. Pemerintah imperialis AS sebagai majikan Suharto sudah layak mendapatkan keistimewaan tersebut dari bonekanya yang fasis tersebut. Dalam waktu yang tidak lama, imperialis Eropa dan Jepang sebagai kekuatan utama di Asia masuk ke Indonesia yang melahirkan protes gerakan sosial menentang modal asing pada tahun 1974. Pasca Suharto, benteng kedaulatan politik negeri semakin dihancurkan oleh rezim yang terakhir, yakni pemerintah reaksioner SBY-JK. Mereka telah menerbitkan Undang-undang Penanaman Modal paling baru Nomor. 25/2007. Salah satu bunyi pasal yang paling pro-imperialis adalah Undang-undang ini mengizinkan kepada swasta asing menggunakan (HGU) kekayaan sumber alam kita selama 95 tahun. Artinya, UU ini memiliki kadar kolonialisme tiga kali lipat dibandingkan UU PMA lama yang memberi waktu 25 tahun. Secara hakiki, rezim SBY-JK telah melipatgandakan kadar ke-kompradoran-nya dan semakin menjelaskan makna Republik Indonesia secara politik sebagai negeri setengah-jajahan; yakni negeri yang secara politik diperintah oleh dominasi kelas komprador sebagai pelayan imperialisme.
Bagaimana tanah air Indonesia menjadi surga bagi imperialisme? Undang-undang yang ditetapkan pada bulan Mei 2007 tersebut membuka lebar-lebar perampokan borjuis besar asing atas seluruh kekayaan alam kita. Minyak, aneka tambang, perkebunan, kehutanan, perikanan, dsb, sah menjadi milik asing selama 95 tahun. Pendek kata, apa yang ada di permukaan dan perut bumi, semua menjadi obyek eksploitas mereka selama dua generasi umat manusia. Sebuah penggadaian atas alam dan rakyat paling brutal sejak Republik ini berdiri. Merekalah sebagai pencipta takdir kemiskinan bagi rakyat Indonesia. Rakyat yang hidup di atas obyektifitas tanah-air subur nan kaya negeri ini, menurut angka resmi pemerintah sejumlah 4,1
juta rakyat ditimpa kekurangan gizi (malnutrisi) dan ratusan rakyat yang terkena busung lapar akibat kekurangan karbohidrat (marasmus). Secara khusus, proletariat modern Indonesia juga mendapat pukulan yang serius dari rezim komprador SBY-JK dengan diterbitkannya UU 13/2003. Apa makna UUK ini bagi kelas buruh Indonesia? Undang-undang anti-buruh ini telah menerjang penghidupan buruh yang semakin miskin. UUK ini menjadi paket istimewa yang melayani investasi asing dan menopang kelas kapitalis dalam negeri dalam menumpuk keuntungan. Fenomena sistem kerja buruh kontrak dan outsourcing melanda dunia industrial di tanah air yang sangat merugikan proletariat Indonesia. Dengan sistem kerja buruh kontrak, proletariat Indonesia dipreteli hak-hak dasarnya di mana perusahaan melepas tanggung jawabnya untuk menjamin berbagai jaminan sosial seperti jamsostek, THR, bonus, pesangon, dsb. Seorang buruh kontrak, ia hanya mendapatkan upah yang sesuai dengan UMR saja. Tidak lebih. Kita bisa membayangkan, bila upah buruh di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2008 senilai Rp. 967.000, maka hanya dengan upah itulah ia harus melanjutkan hidupnya baik bagi yang lajang atau yang sudah berkeluarga. Bila sakit ia tidak mendapat santunan kesehatan. Bila ia di-PHK, ia tidak mendapat pesangon betapapun ia sudah diperas lebih dari 5 tahun bekerja di pabrik. Bila ia kritis terhadap kebijakan perusahaan yang merugikan kau buruh, ia diputus kontaknya atau dipaksa mengundurkan diri secara sepihak. Jelasnya, kehidupan kelas buruh semakin jauh dari kesejahteraan dan perlindungan. Kelas buruh dan rakyat Indonesia dengan demikian memiliki musuh yang sama, yakni klik kekuasaan paling reaksioner pemerintah SBY-JK. Mesin kekuasaan politik yang menciptakan penderitaan rakyat yang semakin parah. Lantas apa hakekat dari sistem ekonomi setengah-feodal? Hakekat ekonomi semi-feodal adalah perkembangan internal masyarakat ekonomi bekas koloni yang belum tuntas menghancurkan sistem sosial lama – struktur ekonomi feodalisme yang masih membelenggu perkembangan ekonomi sebagian besar pedesaan negeri ini. Revolusi Nasional 1945 pada kenyataannya kurang memiliki watak demokratik (anti-feodal) yang kuat. Masih berlangsungnya sisa-sisa feodalisme yang luas di pedesaan, pada hakekatnya adalah bentuk penindasan setengah feodal, karena dalam sejarah Indonesia belum pernah terjadi revolusi agraria secara nasional yang lahir dari pemberontakan kaum tani melawan tuan-tuan tanah atau pihak-pihak yang pada prakteknya memonopoli tanah secara luas. Relasi produksi feodalisme masih tetap ada karena akar-akar feodalisme belum dibongkar oleh gerakan massa rakyat yang paling berkepentingan, yakni kaum petani hamba, buruh-tani dan tani miskin di Indonesia. Bila kita memegang teguh perubahan sosial adalah karya massa, maka kenyataan inilah yang terjadi. Hancurnya hubungan produksi setengah-feodal tentu karya massa rakyat itu sendiri. Bila tidak membasiskan pada analisis sejarah sebagai karya massa rakyat dan dinamika internal perjuangan massa, maka dasar teori dan analisis sering bersandar pada sangkaan subyektif yang keliru. Anggapan tersebut akan mengikuti cara berpikir bahwa imperialisme dengan sendirinya akan menghancurkan basis feodalisme di Indonesia. Secara teoritik, pandangan ini memperoleh sandarannya dari teori Karl Kautsky tentang Ultra-Imperialisme, si pemimpin revisionisme klasik dalam Internationale ke-2, yang menyatakan bahwa praktek imperialisme akan mendorong internasionalisasi produksi kapitalisme. Bila demikian halnya, imperialisme mesti disyukuri dan disambut dengan gembira oleh massa rakyat di negeri jajahan dan setengah jajahan. Bukankah kekonyolan yang sama sekali tidak mendapatkan pijakan ilmiahnya secara teoritik dan praktek? Pada kenyataannya, rakyat di negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan merasakan penderitaan yang sangat berat sebagai akibat penindasan imperialisme. Sehingga merupakan hukum yang objektif bila kemudian rakyat di negeri-negeri tersebut bangkit melakukan perlawanan untuk pembebasan nasional dari cengkraman imperialisme dan pembebasan demokratis melawan sistem sosial lama feodalisme. Dan itu terjadi di semua belahan bumi ini baik di Asia, Afrika maupun Amerika Latin.

Imperialisme sebagai tahap tertinggi perkembangan kapitalisme memiliki tiga kepentingan utama di negeri jajahan dan setengah jajahan: yaitu bahan mentah untuk kepentingan industrinya, upah buruh yang murah dan sekaligus pasar bagi produk yang dihasilkan oleh industri mereka. Imperialisme tidak pernah dan tidak akan secara sungguh-sungguh membangun industri nasional yang kuat di negeri jajahan atau setengah jajahan, karena apabila dilakukannya hanya akan melahirkan negeri industri pesaing. Lahirnya negara industri pesaing maka akan menggagalkan kepentingan imperialisme itu sendiri untuk mendapatkan bahan mentah, buruh murah dan pasar barang komoditas mereka. Kebenaran pandangan ini dapat dibuktikan dengan beberapa kondisi yang dapat kita temui di negeri jajahan maupun setengah jajahan seperti tidak berkembangnya industri nasional karena tidak ada industri dasar dan berat; lebih berkembangnya sektor ekonomi barang dagangan (kelontong), industri perakitan sebagai pelayan bagi industri imperialis, sektor jasa dan mewabahnya ekonomi borjuasi kecil di perkotaan; hal lain juga ditandai selalu adanya defisit neraca perdagangan negara. Dan itulah yang persis terjadi di Indonesia sampai hari ini. Beberapa data terakhir yang menunjukkan gulung tikarnya industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia sebagai akibat maraknya serbuan barang impor terutama dari Cina, India dan Vietnam (negara-negara yang diketahui biaya buruhnya lebih rendah), tingkat pengangguran yang semakin tinggi akibat PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) sebagai dampak banyak tutupnya industri dalam negeri dan relokasi investasi ke negara lain, semakin memperkuat pandangan di atas. Perkembangan ekonomi Indonesia tidak berkembang linear sebagaimana sejarah masyarakat ekonomi Eropa; pertanian, agroindustri seiring dengan tumbuhnya manufaktur, kemudian revolusi industri yang menghantarkan pada industrialisasi modern. Ketidakseimbangan ini terkait dengan kedudukan sistem ekonomi kapitalisme yang telah memasuki tahap tertinggi dan terakhirnya bernama imperialisme. Yang dibutuhkan imperialisme adalah peranan borjuis komprador sebagai kaki-tangan mereka. Di bawah kepanglimaan politik pemerintah komprador maka rakyat di suatu negeri jajahan/setengah jajahan akan dibawa pada malapetaka kemiskinan. Imperialisme tidak akan dengan mudah membiarkan negeri-negeri bergantung lepas dari cengkeramannya. Ketergantungan negeri-negeri bergantung selalu akan diciptakan oleh imperialisme yang meliputi ketergantungan finansial, investasi modal asing, teknologi tinggi, peralatan militer, dsb.
Dengan kedudukan yang serba bergantung, struktur ekonomi semi-feodal secara hakekat selalu dalam situasi krisis dan cenderung semakin kronis disebabkan oleh kerapuhan struktur ekonomi yang dipancangkanya. Dan lebih gawatnya, situasi krisis ini akan semakin kronis menjadi kenyataan pada saat terjadi resesi ekonomi dunia seperti sekarang ini. Hal tragis terbaru adalah krisis pangan yang menimpa rakyat di negeri tropis nan subur ini. Dan ironisnya, krisis pangan ini hanya dijawab dengan kebijakan impor pangan-pangan komoditas (kedelai, jagung, hingga beras seperti tahun-tahun lalu) tanpa disertai strategi pertanian yang serius menuju keamanan pangan dan kedaulatan pangan.
Masyarakat pedesaaan semakin dihancurkan. Ekonomi pertanian pedesaan yang suram tanpa hari depan semakin dimiskinkan, dan bertambah menderita karena ditinggalkan oleh tenaga produktif (labour forces) menuju kota sebagai buruh murah (unskilled labour) atau jutaan warga desa yang menjadi buruh migran di negeri-negeri seberang. Rendahnya pendapatan masyarakat desa secara langsung telah menciptakan gisi buruk, busung lapar, hingga rendahnya tingkat pendidikan anak-anak desa yang mengarah pada hilangnya suatu generasi (The lost generation). Inilah kenyataan hidup yang dihadapi oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Struktur ekonomi semi-feodal telah terbukti kropos ketika diterpa badai krisis moneter 1998 yang telah menggulung kekuasaan politik rezim fasis Suharto. Dan kini, struktur ekonomi ini semakin megap-megap diterjang badai krisis energi, krisis finansial, krisis pangan yang berpadu dengan krisis ekosistem lingkungan.
Penderitaan rakyat di negeri-negeri Selatan seperti Indonesia akan semakin kronis tanpa jaring pengaman yang setiap saat bisa menyulut kerusuhan sosial dan krisis politik. Dalam ranah kebijakan politik, amandemen UUPA/1960 yang kini terjadi bermakna serangan hebat bagi kaum tani Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, motif hakiki dari buah perjuangan reform parlementer terpenting bernama UUPA 1960 adalah mengurangi kadar semi-feodalisme sebagai sistem ekonomi masyarakat Indonesia. Perjuangan reform parlementer tentu hanya bisa mengurangi, karena problem menghapuskan sistem ekonomi semi-feodal hanya bisa dituntaskan oleh revolusi demokratis di Indonesia. Namun motif hakiki UUPA 1960 ini semakin jauh dari harapan rakyat mayoritas negeri ini dari buruh tani dan petani miskin; ketika rezim politik diperintah oleh kediktatoran bersama atas borjuis komprador dan tuan tanah. UU Penanaman Modal 25/2007 secara langsung telah mengkooptasi keberadaan UUPA/1960 ini. Monopoli tanah oleh negara yang berwatak tuan tanah semakin memperparah wajah pedesaan yang miskin. Kelas tuan tanah tersebut telah menjadikan hak monopolinya untuk melanjutkan kepenguasaan luas tanahnya untuk kepentingan kelas mereka sendiri dan/atau menjadikan jutaan hektar tanah untuk melayani kepentingan imperialisme. Kita bisa menyaksikan pembukaan jutaan hektar tanah bagi perkebunan kelapa sawit, untuk menyediakan CPO bagi kebutuhan alternatif energi imperialis. Demikian juga karet, kopra, kayu tanaman industri, dsb. Masih berjalannya sistem ekonomi semi-feodal dengan demikian adalah perwujudan dari kelangsungan politik tuan tanah dalam tubuh kekuasaan pemerintah Republik Indonesia dewasa ini.

III. Aliansi Dasar Buruh dan Petani sebagai Kekuatan Pokok Rakyat Indonesia
Penjabaran dan analisis atas karakter setengah-jajahan dan setengah-feodal masyarakat Indonesia di atas menjadi dasar obyektif bagi arti pentingnya aliansi dasar buruh dan Petani di Indonesia. Persoalan ini tidak semata-mata hanya didasarkan pada kuantitas jumlah petani dan buruh yang menjadi warga mayoritas negeri ini, namun secara kualitatif menjelaskan sistem ekonomi setengah feodal itu sendiri.
Dibutuhkannya aliansi dasar buruh dan tani, hal ini juga menjelaskan kekuatan kelas dan peranannya dalam perjuangan rakyat secara nasional. Kelas buruh Indonesia menjadi kekuatan pokok gerakan rakyat anti-imperialisme di perkotaan sebagaimana gerakan petani sebagai gerakan anti-feodal di pedesaan sekaligus anti-imperialisme. Berkobarnya perjuangan baik di pedesaan dan perkotaan; atau terbentuknya persatuan yang kokoh antara buruh dan petani di Indonesia tentu menjadi syarat subyektif yang pokok bagi perjuangan rakyat di Indonesia. Tanpa ada aliansi dasar ini, maka gerakan rakyat Indonesia akan rapuh dan pincang. Resiko kerapuhan dan kepincangan ini juga akan panjang dalam strategi perjuangan pokok perubahan rakyat di Indonesia. Kepincangan ini, ibarat dua kaki manusia, yang secara obyektif tidak berpijak di atas dua kakinya dan membumi di kenyataan sosial masyarakat. Gerakan buruh di perkotaan yang mengabaikan dan menyepelekan kekuatan mayoritas rakyat bernama petani, akan lemah dan pincang secara sosial dan politik dalam melakukan pukulan yang mematikan bagi musuh-musuh rakyat dalam skala negeri. Pun sebaliknya, gerakan petani mustahil berjuangan sendiri melawan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme dalam skala negeri tanpa kekuatan pemimpin kelas bernama proletariat modern Indonesia.
Aliansi dasar buruh dan petani dengan demikian menjadi kebutuhan obyektif bagi kepentingan rakyat dalam menggelorakan perjuangan anti-imperialisme dan sistem sosial lama feodalisme di Indonesia. Suatu syarat obyektif yang kelak akan melahirkan negeri Indonesia yang bebas dan demokratis. Konsistensi berpikir ini juga menyangkut solusi ganda dalam strategi perubahan masyarakat Indonesia. Solusi ganda yang paling bisa menjawab akar masalah masyarakat Indonesia dewasa ini adalah menuju pembangunan industrialisasi nasional yang kuat dan dijalankannya landreform sejati di Indonesia. Keduanya solusi ini persis seperti menjejakkan kedua kaki di kedalaman kenyataan untuk berproduksi dan memenuhi kemandirian atas seluruh kebutuhan domestik rakyat Indonesia. Penjabarannya adalah landreform sejati sebagai fundasi ekonomi yang akan menjamin kedaulatan pangan dan kemajuan masyarakat desa dari situasi kemiskinannya; sedangkan industri nasional yang kuat sebagai roda penggerak kemajuan bangsa sekaligus kemandirian produktifitas nasional yang tidak bergantung lagi kepada bangsa asing (imperialisme). Tanpa salah satu dari keduanya adalah pincang. Dan tanpa kedua-duanya adalah malapetaka bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Malapetaka itu seperti yang ditakutkan oleh pikiran maju bung Karno, “Een natie van koelies en een koelie onder da naties”: Bangsa yang terdiri dari kuli-kuli dan sebagai kuli dalam pergaulannya dengan bangsa-bangsa lain. Dan inilah yang benar-benar terjadi dewasa ini di bawah keditatoran bersama dari kelas borjuis komprador, tuan tanah dan kapitalis birokrat di zaman krisis umum imperialisme di bawah dominasi tunggal Amerika Serikat dewasa ini. Klik kekuasaan reaksioner anti-rakyat SBY-JK menjadi penghambat dari cita-cita mulai rakyat Indonesia dan sekaligus menjelaskan kedudukan mereka (SBY-JK) sebagai musuh pokok rakyat Indonesia dewasa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar