Pendidikan Nasional di bawah dominasi Imperialisme dan Feodalisme
Situasi objektif pendidikan di Indonesia yang tidak lagi mencerdaskan kehidupan bangsa tapi mengabdi untuk kepentingan imperialis yang dijalankan oleh kaki tangannya yaitu borjuasi komprador, tuan tanah, kapitalis birokrat. Kenyataan pahit yang di hadapi oleh rakyat adalah perampasan atas upah, tanah dan kerja yang mayoritas adalah kaum buruh dan tani dan mempunyai peran penting dalam memberikan sumbangsih terhadap APBN. Krisis ekonomi dunia yang di sebabkan oleh keserakahan imperialism yang eksploitatif, akumulatif, ekspansif dan yang menjadi sasaran empuk adalah negeri jajahan dan setengah jajahan seperti Indonesia, negeri yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, jiwa penduduk yang besar serta negeri bergantung pada Negara lain terutama AS sebagai negeri induk imperialis.
Krisis ekonomi dunia atas keserakahan imperialism akibat over produksi berdampak PHK besar-besaran terhadap buruh dan perampasan tanah terhadap kaum tani untuk melanggengkan kepentingan imperialism dan feodalisme. Kemelaratanlah yang di dapat oleh rakyat karena penghidupan yang semakin sulit, apakah mampu anak buruh dan tani kuliah apalagi dengan biaya pendidikan yang semakin mahal. Ini tidak lepas dari rejim boneka sebagai pemimpin kontradiksi dan lebih mementingkan klasnya serta tuan imperialisnya daripada mementingkan rakyat.
Rejim Boneka Merampok hak rakyat untuk Kuliah!
Dari rejim boneka satu yang berganti dengan rejim boneka lainya di negeri ini, upaya komersialisasi pendidikan semakin deras. Rejim lebih memilih tunduk pada kesepakatan dengan instrument imperialis dari pada memenuhi kebutuhan rakyat atas pendidikan, deretan panjang perampokan hak rakyat pada medio abad 20an atas pendidikan di mulai Dalam kesepakatan untuk kucuran utang (Letter of Intent/LoI) dari dana internasional Monetery Found (IMF) tahun 1999, terdapat kesepakatan bahwa pemerintah harus mencabut subsidi untuk pendidikan dan kesehatan. Hal ini yang membuat masyarakat menanggung biaya pendidikan dan kesehatan terlalu mahal di luar kemampuan mayoritas penduduk Indonesia. Padahal jelas dalam UUD 1945 pasal 31 bahwa pemerintah wajib membiayai pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN/APBD.
Melalui Bank Dunia (World Bank/WB), pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran dana utang 114,54 dollar AS untuk membiayai program Indonesia Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati juni 2005 dan berakhir 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot anggaran di APBN sehingga harus dipangkas subsidinya. Pemangkasan tersebut meliputi juga anggaran untuk guru dan dosen.
Selain itu, sejak tahun 2001 pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kesepakatan Bersama Tentang Perdagangan Jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) di mana pendidikan dimasukkan menjadi salah satu dari 16 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian, para investor kemudian bisa menanamkan investasinya di sektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi).
Kesemua perjanjian tersebut yang mendorong rejim boneka untuk melegalisasi kampus untuk diperdagangkan, kesepakatan tersebut menjadi induk atas lahirnya PP 60 dan 61 tahun 1999 tentang Otonomi Kampus, UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisitem Pendidikan Nasional dan UU No.02 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Barang busuk tersebut yang membuat anak-anak buruh dan tani tidak bisa menginjakkan kaki di kampus. Biaya kuliah melambung Tiap Semesternya, biaya Masuk kuliah tak terbendung lagi tiap tahunya dan Pungutan liar semakin meningkat agresif merogoh kantong orang tua mahasiswa.
Liberalisasi dan komersialisasi di sektor pendidikan sudah semakin terasa dan semakin deras dengan adanya UU Penanaman Modal Th 2007 dan UU BHP No.02 Th 2009 memudahkan untuk mengkomersilkan di sektor pendidikan. Hakekatnya ini sama dengan perusahaan yaitu pendidikan sebagai objek investasi bagi pemodal. Jelas ini membuat pendidikan di Indonesia tidak ilmiah dan tidak demokratis. Pendidikan Adalah Politik, Pendidikan adalah Alat Kelas.
Tidak ada jaminan atas Pekerjaan bagi Pemuda Mahasiswa.
Problem masa depan pemuda mahasiswa di Indonesia ,ini bisa dilihat dari jumlah angka pengangguran terdidik yang kian meningkat. Pada tahun 2006 pengangguran lulusan SLTA/SMK, D3 dan S1 mencapai 4.516.100 orang, khusus untuk D1,D2, dan D3 sebanyak 519.000 orang, sedangkan untuk jenjang S1 sebanyak 740.206 orang, atau meningkat menjadi 7,02 persen dari agustus 2006 yang jumlah pengangguran terdidik sebanyak 673.628 atau 6,16 persen. Kenaikan ini sebenarnya sudah terjadi dari tahun 2003. Bahkan untuk pengangguran setengah terbuka yaitu yang bekerja di bawah 35 jam perminggu jumlahnya pada februari 2007 mencapai 1,4 juta jiwa, naik 26 persen dari februari 2006.
Tentu ini adalah sebuah keniscayaan bagi negeri yang diperintah rejim boneka seperti Indonesia, dimana masa depan pemuda baik untuk mendapat pekerjaan ataupun mengakses pendidikan secara bebas tidak akan mungkin terjadi. Sekalilagi ini menjelaskan kepentingan dari imperialisme atas sumber-sumber tambang, pasar dan tenaga kerja/produktif di Negara koloninya. Sekali lagi dimana pendidikan akan diletakan sebagai alat untuk menjamin suplai tenaga buruh murah, tetapi dalam aspek lainnya pendidikan akan menjadi alat untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, tentu syaratnya adalah bagaimana melakukan komersialisasi pendidikan, sekaligus menumpulkan taraf kebudayaan rakyat sampai pada tahap paling rendah untuk menjamin kekuasaan dan dominasi imperialisme dan feodalism tetap kuat.
Inilah kenapa kita harus menuntut jaminan pendidikan dan lapangan pekerjaan bagi pemuda mahasiswa, jaminan atas pendidikan akan memberikan harapan bagi tenaga-tenaga produktif Indonesia mengembangkan kemampuan dan taraf kebudayaannya, dengan arahan tentu adalah berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan di Indonesia, sehingga tidak ada lagi kemiskinan dan kebodohan yang selama ini menjadi musuh utama rakyat Indonesia. Ini dapat dicapai jika ada jaminan akses pendidikan yang luas, baik lewat alokasi anggaran yang besar (minimal 20%), atau dengan memberikan jaminan pendidikan murah dan terjangkau.
Sedangkan jaminan lapangan pekerjaan tentu adalah bagaimana pemuda mahasiswa dapat menikmati pekerjaan yang layak, hal ini hanya dapat di lakukan jika ada industri yang memang menjadi milik rakyat dengan pengelolaan oleh Negara, tanpa ada lagi politik upah murah atau outsourching.
Sedangkan kedua hal tersebut terjamin bisa berjalan jika syarat utamanya yaitu reforma agraria sejati dijalankan. Tetapi hal ini mustahil akan dijalankan oleh rejim boneka anti rakyat seperti SBY-Boediono, karena jika reforma agraria sejati dijalankan artinya akan melikuidir semua kekuatan imperialisme dan feudalism yang ada di Indonesia, termasuk didalamnya adalah modal-modal asing yang berkembang lewat berbagai perusahaan dan tambang di Indonesia karena akan diambil dan diabdikan untuk rakyat. Sebegitu juga tanah-tanah yang kepemilikannya akan ditata kembali tanpa monopoli dengan prioritas utama kaum tani, sehingga hal ini akan mengancam kedudukan para tuan-tuan tanah.
Sehingga reforma agraria sejati hanya dapat dilakukan oleh perjuangan segenap rakyat Indonesia, yang menumpukan kepemimpinan pada aliansi kelas buruh dan tani. Sehingga tidak ada alasan apapun bagi pemuda mahasiswa untuk tidak berjuang bersama buruh dan tani, karena hakekatnya keberhasilan atas jaminan lapangan pekerjaan dan pendidikan terletak pada keberhasilan pada perjuangan demokratis nasional yang didalamnya ada bagaimana reforma agraria dapat terwujud. Jadi inilah saat pemuda mahasiswa meneriakan, slogan perjuangan” pemuda mahasiswa berjuang bersama rakyat”.
Situasi objektif pendidikan di Indonesia yang tidak lagi mencerdaskan kehidupan bangsa tapi mengabdi untuk kepentingan imperialis yang dijalankan oleh kaki tangannya yaitu borjuasi komprador, tuan tanah, kapitalis birokrat. Kenyataan pahit yang di hadapi oleh rakyat adalah perampasan atas upah, tanah dan kerja yang mayoritas adalah kaum buruh dan tani dan mempunyai peran penting dalam memberikan sumbangsih terhadap APBN. Krisis ekonomi dunia yang di sebabkan oleh keserakahan imperialism yang eksploitatif, akumulatif, ekspansif dan yang menjadi sasaran empuk adalah negeri jajahan dan setengah jajahan seperti Indonesia, negeri yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, jiwa penduduk yang besar serta negeri bergantung pada Negara lain terutama AS sebagai negeri induk imperialis.
Krisis ekonomi dunia atas keserakahan imperialism akibat over produksi berdampak PHK besar-besaran terhadap buruh dan perampasan tanah terhadap kaum tani untuk melanggengkan kepentingan imperialism dan feodalisme. Kemelaratanlah yang di dapat oleh rakyat karena penghidupan yang semakin sulit, apakah mampu anak buruh dan tani kuliah apalagi dengan biaya pendidikan yang semakin mahal. Ini tidak lepas dari rejim boneka sebagai pemimpin kontradiksi dan lebih mementingkan klasnya serta tuan imperialisnya daripada mementingkan rakyat.
Rejim Boneka Merampok hak rakyat untuk Kuliah!
Dari rejim boneka satu yang berganti dengan rejim boneka lainya di negeri ini, upaya komersialisasi pendidikan semakin deras. Rejim lebih memilih tunduk pada kesepakatan dengan instrument imperialis dari pada memenuhi kebutuhan rakyat atas pendidikan, deretan panjang perampokan hak rakyat pada medio abad 20an atas pendidikan di mulai Dalam kesepakatan untuk kucuran utang (Letter of Intent/LoI) dari dana internasional Monetery Found (IMF) tahun 1999, terdapat kesepakatan bahwa pemerintah harus mencabut subsidi untuk pendidikan dan kesehatan. Hal ini yang membuat masyarakat menanggung biaya pendidikan dan kesehatan terlalu mahal di luar kemampuan mayoritas penduduk Indonesia. Padahal jelas dalam UUD 1945 pasal 31 bahwa pemerintah wajib membiayai pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN/APBD.
Melalui Bank Dunia (World Bank/WB), pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran dana utang 114,54 dollar AS untuk membiayai program Indonesia Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati juni 2005 dan berakhir 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot anggaran di APBN sehingga harus dipangkas subsidinya. Pemangkasan tersebut meliputi juga anggaran untuk guru dan dosen.
Selain itu, sejak tahun 2001 pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kesepakatan Bersama Tentang Perdagangan Jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) di mana pendidikan dimasukkan menjadi salah satu dari 16 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian, para investor kemudian bisa menanamkan investasinya di sektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi).
Kesemua perjanjian tersebut yang mendorong rejim boneka untuk melegalisasi kampus untuk diperdagangkan, kesepakatan tersebut menjadi induk atas lahirnya PP 60 dan 61 tahun 1999 tentang Otonomi Kampus, UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisitem Pendidikan Nasional dan UU No.02 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Barang busuk tersebut yang membuat anak-anak buruh dan tani tidak bisa menginjakkan kaki di kampus. Biaya kuliah melambung Tiap Semesternya, biaya Masuk kuliah tak terbendung lagi tiap tahunya dan Pungutan liar semakin meningkat agresif merogoh kantong orang tua mahasiswa.
Liberalisasi dan komersialisasi di sektor pendidikan sudah semakin terasa dan semakin deras dengan adanya UU Penanaman Modal Th 2007 dan UU BHP No.02 Th 2009 memudahkan untuk mengkomersilkan di sektor pendidikan. Hakekatnya ini sama dengan perusahaan yaitu pendidikan sebagai objek investasi bagi pemodal. Jelas ini membuat pendidikan di Indonesia tidak ilmiah dan tidak demokratis. Pendidikan Adalah Politik, Pendidikan adalah Alat Kelas.
Tidak ada jaminan atas Pekerjaan bagi Pemuda Mahasiswa.
Problem masa depan pemuda mahasiswa di Indonesia ,ini bisa dilihat dari jumlah angka pengangguran terdidik yang kian meningkat. Pada tahun 2006 pengangguran lulusan SLTA/SMK, D3 dan S1 mencapai 4.516.100 orang, khusus untuk D1,D2, dan D3 sebanyak 519.000 orang, sedangkan untuk jenjang S1 sebanyak 740.206 orang, atau meningkat menjadi 7,02 persen dari agustus 2006 yang jumlah pengangguran terdidik sebanyak 673.628 atau 6,16 persen. Kenaikan ini sebenarnya sudah terjadi dari tahun 2003. Bahkan untuk pengangguran setengah terbuka yaitu yang bekerja di bawah 35 jam perminggu jumlahnya pada februari 2007 mencapai 1,4 juta jiwa, naik 26 persen dari februari 2006.
Tentu ini adalah sebuah keniscayaan bagi negeri yang diperintah rejim boneka seperti Indonesia, dimana masa depan pemuda baik untuk mendapat pekerjaan ataupun mengakses pendidikan secara bebas tidak akan mungkin terjadi. Sekalilagi ini menjelaskan kepentingan dari imperialisme atas sumber-sumber tambang, pasar dan tenaga kerja/produktif di Negara koloninya. Sekali lagi dimana pendidikan akan diletakan sebagai alat untuk menjamin suplai tenaga buruh murah, tetapi dalam aspek lainnya pendidikan akan menjadi alat untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, tentu syaratnya adalah bagaimana melakukan komersialisasi pendidikan, sekaligus menumpulkan taraf kebudayaan rakyat sampai pada tahap paling rendah untuk menjamin kekuasaan dan dominasi imperialisme dan feodalism tetap kuat.
Inilah kenapa kita harus menuntut jaminan pendidikan dan lapangan pekerjaan bagi pemuda mahasiswa, jaminan atas pendidikan akan memberikan harapan bagi tenaga-tenaga produktif Indonesia mengembangkan kemampuan dan taraf kebudayaannya, dengan arahan tentu adalah berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan di Indonesia, sehingga tidak ada lagi kemiskinan dan kebodohan yang selama ini menjadi musuh utama rakyat Indonesia. Ini dapat dicapai jika ada jaminan akses pendidikan yang luas, baik lewat alokasi anggaran yang besar (minimal 20%), atau dengan memberikan jaminan pendidikan murah dan terjangkau.
Sedangkan jaminan lapangan pekerjaan tentu adalah bagaimana pemuda mahasiswa dapat menikmati pekerjaan yang layak, hal ini hanya dapat di lakukan jika ada industri yang memang menjadi milik rakyat dengan pengelolaan oleh Negara, tanpa ada lagi politik upah murah atau outsourching.
Sedangkan kedua hal tersebut terjamin bisa berjalan jika syarat utamanya yaitu reforma agraria sejati dijalankan. Tetapi hal ini mustahil akan dijalankan oleh rejim boneka anti rakyat seperti SBY-Boediono, karena jika reforma agraria sejati dijalankan artinya akan melikuidir semua kekuatan imperialisme dan feudalism yang ada di Indonesia, termasuk didalamnya adalah modal-modal asing yang berkembang lewat berbagai perusahaan dan tambang di Indonesia karena akan diambil dan diabdikan untuk rakyat. Sebegitu juga tanah-tanah yang kepemilikannya akan ditata kembali tanpa monopoli dengan prioritas utama kaum tani, sehingga hal ini akan mengancam kedudukan para tuan-tuan tanah.
Sehingga reforma agraria sejati hanya dapat dilakukan oleh perjuangan segenap rakyat Indonesia, yang menumpukan kepemimpinan pada aliansi kelas buruh dan tani. Sehingga tidak ada alasan apapun bagi pemuda mahasiswa untuk tidak berjuang bersama buruh dan tani, karena hakekatnya keberhasilan atas jaminan lapangan pekerjaan dan pendidikan terletak pada keberhasilan pada perjuangan demokratis nasional yang didalamnya ada bagaimana reforma agraria dapat terwujud. Jadi inilah saat pemuda mahasiswa meneriakan, slogan perjuangan” pemuda mahasiswa berjuang bersama rakyat”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar